Kawan saya, seorang manajer personalia sebuah perusahaan relatif besar di Semarang, mengeluh karena kesulitan untuk menyiapkan seorang sekretaris untuk Big Bos-nya. Dia mengeluh karena selalu gagal menemukan sekteratis yang cocok. “Bos selalu marah-marah karena sekretaris yang saya sodorkan selalu memble kerjanya. Paling banter enam bulan, bos sudah minta ganti,” kata dia.
Sekretaris macam apa yang diinginkan bos si manajer personalia? “Punya rasa empati tinggi, suka menolong dan pedulian terhadap kesulitan orang lain,” kata si manajer kepada saya.
Semua sekretaris yang ditolak si bos selama ini, dinilai hanya punya “sikap baik yang semu” serta rendah rasa “kepeduliannya” terhadap orang lain. Mereka punya “rasa kepedulian” hanya ketika berada di depan bos. Solidaritas tinggi, hanya ditunjukkan kepada bos seorang, tanpa mau memahami kesulitan orang lain.
Beberapa sekretaris dianggap sangat “protektif” terhadap si bos yang justru menyebabkan putusnya komunikasi antara bos dan semua karyawannya. Intinya, si bos mencari “sekretaris yang baik hati”, baik untuk si bos maupun kolega.
Pusing, konon itulah yang dirasakan si manajer untuk memenuhi permintaan bosnya. Dia bingung model rekrutmen macam apa yang harus digunakan dalam memilih calon sekretaris. Psikotes macam apa yang harus dia pakai. Sebab, sepengetahuan dia, belum pernah ada perangkat psikologi yang bisa mendeteksi apakah seseorang itu “baik hati ataukan tidak pedulian”.
Setelah ba-bi-bu sebentar, maka saya pun berbisik-bisik kepadanya untuk melakukan sebuah eksperimen. Dia pun sepakat melakukannya (tentunya, termasuk besaran fee untuk saya sebagai “konsultan SDM” pocokan, hehehe).
Eksperimen
Hari masih pagi ketika delapan peserta tes wawancara penerimaan calon sekretaris berkumpul di lorong depan ruang pertemuan perusahaan, tempat wawancara akan dilangsungkan. Mereka adalah hasil saringan pertama yang saya rekomendasikan untuk dipanggil berdasar sekitar 60-an surat lamaran kerja yang masuk. Mereka saya pilih berdasar nilai akademis, pengalaman kerja, dan catatan mengenai keterampilan tertentu yang berhubungan dengan tugas kesekretariatan.
Hari masih pagi ketika delapan peserta tes wawancara penerimaan calon sekretaris berkumpul di lorong depan ruang pertemuan perusahaan, tempat wawancara akan dilangsungkan. Mereka adalah hasil saringan pertama yang saya rekomendasikan untuk dipanggil berdasar sekitar 60-an surat lamaran kerja yang masuk. Mereka saya pilih berdasar nilai akademis, pengalaman kerja, dan catatan mengenai keterampilan tertentu yang berhubungan dengan tugas kesekretariatan.
Bau aneka ragam wewangian memenuhi lorong. Suara bisik-bisik terdengar dari “serombongan” pencari kerja yang semuanya perempuan itu.
Pensil saya jatuh dari genggaman ketika saya bergegas keluar dari ruangan si manajer untuk menempelkan selembar kertas pengumuman di papan pengumuman dekat rombongan pelamar kerja berkumpul. Pintu ruang kerja manajer personalia memang tidak begitu jauh dari ruang pertemuan. Nah, “lembar pengumuman” itulah awal dari eksperiman saya.
Ketika saya membungkuk mengambil pensil, eh, malah tumpukan kartu nama yang ada di saku baju saya menyusul jatuh. Berserakan. Saya menjadi sangat repot dan pasti terlihat grogi dan gugup. Ya, maklumlah di dekat situ ada serombongan gadis yang rata-rata cantik.
“Awas Pak nanti keinjak dan kotor… itu yang di belakang Bapak,” kata salah seorang gadis yang saya lihat berbegas mendekat sambil ikut mengambilkan beberapa lembar kartu nama yang ada di belakang saya.
“Terima kasih, Mbak…eee..?”
“Hesti… Saya Prahesti Paningron, Pak” kata gadis itu.
“Terima kasih Mbah Hesti,” kata saya. Saya pun kemudian melanjutkan kerja untuk menempelkan lembar pengumuman.
Di lembar pengumuman itu tertulis “Para pelamar kerja Yth: Tes rekrutmen dimulai dengan wawancara kerja. Wawancara untuk setiap peserta hanya berlangsung maksimal tiga menit. Hindari basa-basi. Tidak perlu bercerita tentang siapa Anda. Langsung ceritakan mengapa Anda tertarik menjadi sekretaris direktur.”
Satu per satu calon sekretaris pun masuk-keluar ruangan pertemuan berdasar absensi kedatangan mereka. Di dalam ruangan, hanya ada saya, manajer personalia dan seorang staf sebagai pewawancara. Kami, kenyataannya, tidak melakukan wawancara dan hanya mendengarkan tuturan para pelamar. Tidak ada yang lebih dari tiga menit. Dengan demikian, kurang dari 40 menit, “tes wawancara” selesai.
“Jadi itu yang diambil Mas?” kata manajer personalia kepada saya.
“Ya, Hesti Paningron,” kata saya mantap.
Yup, kejadian tersebut berlangsung sekitar satu setengah tahun yang lalu. Dan, sampai kini, Hesti masih menjadi sekretaris direktur di perusahaan kawan saya itu. Kok bisa? Lantas eksperimen apa yang sudah kami lakukan? Rekrutmen unik mana yang kami gunakan?
Ya, semua tetek bengek tetang penempelan kertas pengumuman, pensil jatuh, kartu nama berserakan, mimik muka saya yang terlihat gugup sekaligus grogi, dan sebagainya itu sekadar sebuah akting. Eksperimen saya.
Saya ingin merekrut calon “sekretaris yang pedulian dan baik hati”. Dengan eksperimen itu, saya berhasil menemukan “sifat dasar” calon karyawan sebagaimana saya inginkan. Empati tinggi, suka menolong orang dan “pedulian” yang ditunjukkan Hesti ketika membantu saya mengambilkan kartu nama yang berserakan adalah sifat dasar dari dirinya. “Sifat dasar seseorang” semacam itu tidak bisa dilacak hanya menggunakan perangkat tes psikologi yang ada dan dikenal saat ini.
Saya “beruntung” karena tidak perlu melakukan eksperimen lanjutan ketika yang datang menolong saya hanya Hesti. Seandainya yang datang tiga orang, maka saya harus melakukan eksperimen lanjutan untuk menentukan skor tertinggi “sikap berempati, pedualian dan suka menolong” di antara ketiganya.
Saya yakin, eksperimen penerimaan karyawan seperti itu membuat mereka yang gagal dalam “tes wawancara” tidak akan pernah tahu mengapa mereka gagal. Bahkan Hesti sendiri, sampai sekarang tidak tahu mengapa dia dulu diterima bekerja sebagai sekretaris direktur. Kalaupun tahu, itu hanya karena dia menduga-duga.
Entah karena saya sedang beruntung atau memang eksperimen saya untuk “menemukan sifat dasar” orang memang mengena, yang jelas Hesti terbukti merupakan sekretaris yang diterima dan dianggap berperilaku baik oleh si bos kawan saya.
Saya bersyukur, “eksperimen Hesti” membuat saya rutin mendapat “order” dari si manajer personalia untuk mencarikan karyawan baru dengan spesialisasi dan karakter tertentu. Entah itu karyawan setaraf manajer yang tidak sekadar suka main perintah, staf marketing yang benar-benar mau mobile dan tidak hanya main telepon plus email yang menghabiskan pulsa perusahaan, customer services officer yang tidak suka cemberut meski menghadapi tekanan kerja yang berat, bahkan sampai office boy yang tidak ngantukan melulu.
Semoga tulisan ini menambah “wawasan ala kadarnya”, baik untuk para manajer personalia, maupun para pencari kerja yang selalu saja tidak pernah tahu mengapa mereka gagal menembus wawancara kerja.
Ikuti “cara unik” lainnya di kesempatan berikutnya.
Salam,
Duto Solo
Ikuti “cara unik” lainnya di kesempatan berikutnya.
Salam,
Duto Solo